Pagi yang ideal belum lengkap tanpa sepiring nasi hangat yang beraroma gurih santan. Namun, di tengah kebiasaan ini, teknologi pertumbuhan mulai memengaruhi kebiasaan makan seseorang, memperkenalkan algoritma yang dapat menggantikan tradisi dengan data.
Seorang mahasiswi, misalnya, terpengaruh oleh saran untuk mengganti santan dengan krimer rendah lemak. Dalam waktu singkat, ia mencatat penurunan berat badan, tetapi perubahan selera makannya mulai terasa asing.
Kebiasaan memasak yang biasanya terikat pada kenangan nostalgia kini dikonversi menjadi satu set angka dan peringatan untuk mengurangi kalori. Ini menggambarkan fenomena penting yang perlu diperhatikan dalam konteks gizi masyarakat.
Pengaruh Teknologi terhadap Pola Makan Tradisional
Ritual makan yang sering dilakukan dalam keluarga kini mendapatkan tantangan dari aplikasi diet berbasis kecerdasan buatan. Dua pengguna, Yumna dan Tri, mencerminkan bagaimana teknologi ini mengubah pilihan mereka, sering meremehkan makanan lokal.
Yumna, mahasiswi berusia 18 tahun, merasa aplikasi yang digunakannya sangat pribadi, namun ia menyadari perubahan signifikan terhadap makanan yang disarankan. Sementara itu, Tri berusaha menyempurnakan pilihan menu agar lebih sesuai dengan budaya lokal, meski tetap dihadapkan pada saran yang tidak menyertakan hidangan tradisional.
Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendasar untuk menjaga warisan kuliner di tengah pergeseran pola makan yang disertai dengan data dan algoritma. Apakah teknologi ini benar-benar memperbaiki kesehatan, ataukah malah membahayakan nilai budaya dan tradisi kita?
Menuju Kesadaran akan Gizi Lokal
Indonesia kini menghadapi tantangan kesehatan yang serius, di mana satu dari tiga orang dewasa mengalami obesitas. Ini adalah tanda nyata dari perubahan pola makan yang cepat, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Desakan dari aplikasi diet berbasis AI bisa mengarah pada pola yang cacat, karena data yang diajukan tidak selalu akurat atau kontekstual. Bias dalam data ini bisa merugikan kesehatan, dan ini harus diperhatikan oleh setiap pengguna.
Kesehatan yang seimbang dan alami perlu diteliti lebih dalam agar teknologi dapat menyajikan saran yang informatif dan tidak merugikan. Tanpa dukungan dari pengetahuan lokal, algoritma hanya akan mendatangkan statistik, bukan solusi sehat.
Mengatasi Kesenjangan Data dan Budaya
Masalah yang muncul bukan hanya di tingkat individu, tetapi juga di tingkat kebijakan publik. Kita harus mengatasi kesenjangan antara kebutuhan lokal dan data global yang tidak memadai.
Beberapa ahli menjelaskan bahwa hingga saat ini, Indonesia belum sepenuhnya menjadi pelatih pengetahuan lokal yang efektif dalam sistem kecerdasan buatan. Hilangnya pengetahuan ini berisiko membuat makanan lokal terpinggirkan.
Situasi ini sering kali disebabkan oleh budaya yang kurang menonjolkan keberagaman pangan. Wawasan yang terbatas membuat banyak produk lokal, seperti sayuran dan rempah-rempah, tidak diintegrasikan ke dalam data global.
Perlunya Edukasi dan Transparansi
Pentingnya transparansi dalam penggunaan algoritma memasak tidak dapat diabaikan. Banyak orang berinvestasi dalam aplikasi ini dengan harapan mendapatkan diet sehat, tetapi tidak ada jaminan mengenai akurasi informasi yang diberikan.
Menurut beberapa pakar, transparansi seharusnya jadi fokus utama yang akan membantu menjembatani kesenjangan antara pengguna dan teknologi. Ini termasuk memberikan akses pada sumber data yang digunakan untuk melatih algoritma tersebut.
Pendidikan masyarakat mengenai pentingnya data lokal dalam pengolahan makanan perlu ditingkatkan agar setiap orang dapat memahami aspek gizi dan kesehatan dengan lebih baik.




