Aplikasi kecerdasan buatan (AI) terbaru telah menarik perhatian di seluruh dunia, terutama bagi kalangan religius. Salah satu aplikasi tersebut, yang dikenal dengan nama Text With Jesus, mengklaim dapat memungkinkan penggunanya berinteraksi dengan tokoh-tokoh penting dalam ajaran Kristen, seperti Yesus, Maria, dan bahkan para rasul.

Dikembangkan oleh perusahaan teknologi Catloaf Software, aplikasi ini bertujuan untuk menciptakan pengalaman belajar spiritual yang interaktif. Meskipun ini merupakan inovasi, keberadaan aplikasi ini juga menimbulkan berbagai pro dan kontra di antara para pengguna dan pemimpin agama.

Inovasi dan Tujuan Aplikasi AI dalam Agama

Aplikasi Text With Jesus menawarkan fitur unik di mana pengguna dapat mengajukan pertanyaan seolah-olah kepada tokoh-tokoh religius. CEO Catloaf Software, Stephane Peter, menyatakan bahwa tujuan dari aplikasi ini adalah untuk memperluas cara berdiskusi tentang isu-isu keagamaan secara interaktif.

Meskipun diiklankan sebagai sarana edukasi, hal ini tetap menjadi bahan diskusi hangat dalam komunitas. Konsep untuk menjadikan tokoh keagamaan menjadi jawaban yang dihasilkan oleh AI tentunya menyisakan banyak pertanyaan tentang basis moral dan etikanya.

Pengguna yang sudah bergabung dengan aplikasi ini merasakan nilai-nilai edukasi yang berjasa dalam memahami ajaran-ajaran spiritual. Namun, reaksi dari kalangan religius beragam, ada yang merasa tertekan oleh ide ini.

Alasan tersebut mendorong perkembangan aplikasi serupa di berbagai agama. Bukan hanya untuk Kristen, tetapi juga ada Deen Buddy untuk umat Islam dan Vedas AI untuk penganut Hindu yang menawarkan interaksi serupa.

Aplikasi-aplikasi ini menyatakan diri bukan sebagai pengganti kitab suci, tetapi sebagai alat bantu yang dapat memberi pemahaman lebih baik tentang ajaran-ajaran spiritual tertentu.

Perdebatan Seputar Etika dan Moralitas dalam Penggunaan AI

Namun, penggunaan AI dalam konteks agama tidak lepas dari kritik. Rabbi Gilah Langner, seorang pemuka agama Yahudi, mengungkapkan pandangannya bahwa hubungan antarmanusia adalah esensi dari pengajaran spiritual. Ia berpendapat bahwa interaksi dengan AI tidak dapat menggantikan koneksi emosional yang biasanya hadir dalam diskusi di komunitas.

Ia juga menekankan bahwa keberadaan AI dapat menyebabkan perasaan terasing bagi individunya. Masyarakat perlu memahami bahwa tradisi keagamaan seharusnya terjalin melalui hubungan sesama, bukan hanya melalui teknologi.

Kritikan lain datang dari mereka yang khawatir aplikasi semacam ini dapat memicu penyalahgunaan informasi. Misalnya, ada kekhawatiran bahwa pertanyaan yang diajukan bisa disalahartikan dan menjurus pada penyampaian ajaran yang tidak akurat.

Banyak yang berpendapat bahwa spiritualitas haruslah melibatkan pengalaman yang mendalam dan tidak bisa disamaratakan hanya melalui aplikasi digital. Ketidakpuasan ini menjadikan diskusi mengenai AI dalam agama semakin menarik untuk diselami lebih dalam.

Sebagian lainnya percaya bahwa teknologi harus dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan spiritual. Pendekatan yang seimbang bisa menjadi kunci dalam merangkul kemajuan tanpa kehilangan esensi dari keyakinan yang dianut.

Respon Beragam dari Masyarakat dan Komunitas Agama

Nica, seorang perempuan dari Filipina yang merupakan anggota Gereja Anglikan, mengungkapkan bahwa ia menggunakan aplikasi seperti ChatGPT untuk belajar Alkitab setiap hari. Meski ada penolakan dari beberapa pemimpin gereja, ia tetap melihat AI sebagai alat bantu.

Pengalaman Nica mencerminkan perspektif banyak pengguna lainnya. Mereka menganggap bahwa aplikasi ini dapat menjadi pelengkap dalam memahami ajaran tanpa mengurangi kepercayaan yang sudah ada.

Namun, di sisi lain, Emanuela, seorang wanita yang ditemui di Katedral St. Patrick di New York, merasa bahwa pembahasan keimanan sebaiknya dilakukan secara langsung dengan sesama penganut. Dia berpendapat bahwa hubungan interpersonal lebih berharga daripada interaksi dengan teknologi.

Keberadaan AI juga pernah diterapkan dalam khotbah di sebuah gereja, dimana Pendeta Jay Cooper menggunakan asisten AI dalam memimpin ibadah. Meskipun dijelaskan sebelumnya, banyak jemaat merespons dengan kekhawatiran.

Beberapa merasa bahwa nilai spiritual dari ibadah tersebut hilang. Pendeta Cooper sendiri mencatat bahwa meski mengundang respons positif, pengalaman tersebut tidak dapat menyampaikan semangat yang biasanya ada dalam kebaktian gereja.

Perkembangan dan Keterbukaan Institusi Agama Terhadap Teknologi

Meskipun terdapat penolakan dari sebagian kalangan, Vatikan menunjukkan sikap terbuka terhadap kemajuan teknologi. Paus Fransiskus bahkan telah menunjuk Demis Hassabis dari Google DeepMind sebagai anggota Akademi Ilmiah Kepausan, menyiratkan bahwa gereja tertarik untuk mendalami peran AI.

Keterbukaan ini menunjukkan bahwa bukan hanya umat yang harus beradaptasi, tetapi institusi agama pun perlu memikirkan bagaimana teknologi dapat berperan. Ini bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan generasi muda dengan nilai-nilai religius.

Namun, tantangan yang dihadapi tetap ada. Perlu adanya kesepakatan bersama dalam memanfaatkan teknologi agar tidak kehilangan substansi dari ajaran yang telah lama dianut. Maka, dialog terbuka menjadi penting dalam menghadapi masa depan bergantung pada kecerdasan buatan dalam konteks religius.

Pada akhirnya, penggunaan AI dalam konteks agama tetap diperdebatkan. Baik dari segi manfaat dan risiko, semua pihak perlu merenungkan kembali tujuan akhir dari pencarian spiritual.

Lebih jauh, keberadaan aplikasi ini ingin menggugah diskusi di kalangan umat sehingga mereka mampu menentukan arah serta komitmen terhadap iman yang diperjuangkan.

Iklan