Nikita Mirzani telah melakukan perubahan signifikan pada penampilannya saat menghadiri sidang kasus dugaan pemerasan dan tindak pidana pencucian uang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada sidang yang berlangsung pada Kamis, 16 Oktober 2025, dia memilih untuk mengenakan pakaian yang lebih tertutup dan kerudung yang menutupi sebagian kepalanya, menandakan respons terhadap kritik yang diterimanya sebelumnya.

Perubahan ini bukan hanya sekadar gaya, tetapi juga merupakan upaya untuk menjalani proses hukum dengan lebih serius. Dalam sidang tersebut, agenda pembacaan pembelaan atau pleidoi menjadi fokus yang menarik perhatian banyak pihak, termasuk media dan pengamat hukum.

Nikita mengungkapkan bahwa pemilihannya untuk berpenampilan lebih sopan berakar dari tanggapan atas tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada pekan lalu, yang menilai sikapnya kurang sesuai. Ia berkata, “Karena kemarin aku dibilang tidak sopan, maka hari ini aku berikan kesopanan.”

Perubahan Penampilan sebagai Respons Hukum yang Penting

Pilihan Nikita untuk mengenakan kerudung seolah-olah mencerminkan usaha untuk memperbaiki citranya di hadapan publik. Hal ini menyiratkan kesadarannya akan pentingnya penampilan dalam konteks hukum dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi persepsi terhadap kasus yang tengah dihadapinya.

Dalam dialog yang ringan, Nikita menambahkan, “Hari ini aku jadi Putri Firaun,” sambil tertawa, mengindikasikan bahwa meski situasi yang dihadapi cukup serius, ia berusaha untuk tidak kehilangan semangat. Humor ini tampaknya menjadi cara baginya untuk menghadapi situasi yang menegangkan.

Sumber laporan menyebutkan bahwa kerudung yang dikenakannya bukan hanya pilihannya, melainkan juga saran dari teman-temannya di dalam rutan. Ia menjelaskan, “Ini (kerudung) juga mereka yang nyuruh. ‘Mau pleidoi lu pakai hijab deh,’ katanya begitu.”

Tuntutan Hukum yang Berat dan Dampaknya

Tuntutan yang dihadapi Nikita cukup serius. Pada 9 Oktober 2025, Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan penjara selama 11 tahun, percaya bahwa Nikita melakukan tindakan pemerasan dan menyebarkan dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan. Ini adalah pelanggaran yang diatur dalam undang-undang yang berlaku.

Jaksa mengklaim bahwa perbuatan Nikita bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak nama baik dan martabat orang lain. “Gue tuh ngalah-ngalahin koruptor lu tahu?” ucapnya dengan nada tegas saat keluar dari ruang sidang. Ini menunjukkan betapa besar tekanan yang dihadapinya.

Pihak jaksa mencatat adanya delapan poin memberatkan dalam pertimbangan tuntutan mereka, termasuk dampak yang dikhawatirkan terhadap masyarakat dan kerusakan reputasi orang lain akibat tindakan Nikita. Ini menambah kompleksitas kasus yang tengah berlangsung.

Konteks Sosial dan Publik terhadap Kasus

Kasus ini tidak hanya menarik perhatian dari sisi hukum, tetapi juga menjadi sorotan publik. Banyak orang menilai bahwa tindakan Nikita memiliki dampak yang luas dan meresahkan masyarakat. Ia terlibat secara langsung dalam controversy yang nampaknya menguasai media dan opini publik.

Perbincangan mengenai kasus ini juga menyentuh pada sisi moralitas, di mana penampilan dan sikap individu menjadi sorotan. Dalam konteks hukum, hal ini bisa mempengaruhi keputusan hakim. Nikita tampak berusaha menunjukkan bahwa ia mengambil langkah-langkah untuk merubah citranya di mata publik.

Dari perspektif hukum, ketidakpuasan terhadap dominasi sedikit banyak muncul dari Napoleon law yang membahas tentang pelanggaran hak asasi. Ini menunjukkan bahwa setiap aspek dari kasus ini menuntut perhatian yang serius dan cermat baik dari media maupun masyarakat. Apakah Nikita akan berhasil menerapkan strategi ini dalam sidang berikutnya masih menjadi pertanyaan yang terbuka.

Iklan