Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital, mengumumkan rencana untuk melaksanakan registrasi kartu SIM berbasis biometrik mulai 1 Januari 2026. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi identitas pengguna telekomunikasi di tengah meningkatnya masalah kejahatan digital.

Inisiatif tersebut diharapkan dapat mengurangi angka penipuan yang memanfaatkan nomor telepon sebagai sarana utama. Pada tahap awal, registrasi ini bersifat sukarela untuk pelanggan baru dan akan diterapkan secara penuh mulai Juli 2026.

Diskusi mengenai kebijakan ini diselenggarakan di Jakarta, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait langsung dengan industri telekomunikasi. Dalam diskusi tersebut, berbagai aspek terkait keamanan digital dan kebutuhan akan identifikasi yang lebih tepat dibahas secara mendalam.

Urgensi Kebijakan Registrasi SIM Biometrik di Indonesia

Direktur Jenderal Ekosistem Digital, Edwin Hidayat Abdullah, menekankan bahwa lonjakan angka penipuan digital mengharuskan pemerintah untuk segera bertindak. Setiap tahun, kasus penipuan yang dilakukan melalui telepon terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Berbagai modus penipuan—mulai dari scam call hingga social engineering—seringkali memanfaatkan penyalahgunaan identitas. Hal ini menandakan pentingnya kebijakan untuk melindungi konsumen dengan registrasi yang lebih kokoh.

Edwin juga mencatat bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh penipuan digital telah mencapai angka yang fantastis, lebih dari Rp7 triliun setiap tahun. Masyarakat juga dihadapkan pada tantangan dengan adanya lebih dari 30 juta panggilan penipuan yang terjadi setiap bulan.

Data Menggugah tentang Penipuan Digital di Indonesia

Data dari Indonesia Anti Scam Center (IASC) menunjukkan bahwa hingga September 2025, terdapat lebih dari 383 ribu rekening yang terindikasi terlibat dalam penipuan. Total kerugian akibat praktik penipuan ini tercatat mencapai Rp4,8 triliun.

Angka tersebut sangat mencolok dibandingkan dengan total pelanggan seluler yang sudah melewati fase validasi. Dengan lebih dari 332 juta nomor terdaftar, tantangan dalam identifikasi konsumen menjadi semakin jelas.

Hal ini menunjukkan betapa mendesaknya penerapan kebijakan registrasi biometrik agar identitas pengguna telekomunikasi bisa lebih terjamin. Data ini bukan hanya statistik, tetapi merupakan gambaran nyata dari kejahatan digital yang harus segera diberantas.

Dukungan dari Operator Seluler untuk Kebijakan Baru Ini

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) memberikan dukungan penuh terhadap kebijakan registrasi SIM berbasis biometrik. Mereka menyatakan bahwa para operator seluler telah siap untuk menerapkan sistem ini demi perlindungan pelanggan.

Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menyampaikan bahwa kebijakan ini sangat penting di tengah pesatnya digitalisasi layanan. Banyak aspek kehidupan masyarakat kini sangat tergantung pada nomor telepon, seperti transaksi perbankan dan layanan publik.

Marwan menjelaskan bahwa transisi dari validasi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) menuju sistem biometrik adalah langkah yang logis. Teknologi biometrik diharapkan dapat mencegah praktik identitas ganda dan kejahatan seperti SIM swap fraud.

Proses Transisi Menuju Registrasi Biometrik yang Wajib

Selama masa transisi, pelanggan baru masih akan memiliki pilihan untuk mendaftar menggunakan NIK atau verifikasi biometrik. Namun, setelah 1 Juli 2026, semua registrasi bagi pelanggan baru harus menggunakan metode biometrik.

Kebijakan ini tidak akan diberlakukan untuk pelanggan lama, sehingga mereka masih dapat meneruskan penggunaan yang ada hingga saat ini. Dalam konteks ini, penting untuk melakukan sosialisasi yang cukup agar pelanggan memahami perubahan yang akan datang.

Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem telekomunikasi yang lebih aman dan efisien, dengan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat. Transformasi ini merupakan langkah penting dalam penanggulangan kejahatan digital yang semakin canggih.

Iklan